Robohnya Sekolah Kami

>> Senin, 24 Agustus 2009

Robohnya Sekolah Kami, Sebuah Ironi Peningkatan Kualitas Pendidikan

Oleh: Husamah

(Sedang Belajar dan Mengabdi di Jurusan Pendidikan Biologi FKIP UMM)

“Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang harus, kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara.” (Plato, dalam “The Laws”)

Prolog

Bagaimanapun, sekolah dan pendidikan adalah lambang atau simbol kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan jelas memainkan peranan penting dalam mewujudkan manusia Indonesia cerdas, menguasai iptek, serta memiliki keterampilan dan daya inovasi, yang menjadi modal utama untuk mencapai prestasi gemilang di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera, yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dapat dikatakan, tingginya kualitas pendidikan menandakan bahwa bangsa tersebut maju dan masyarakatnya bermutu. Ketika lambang atau simbol teraniaya, itu menandakan bahwa pendidikan di negara tersebut masih rendah bahkan bobrok.

UUD 1945 mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pendidikan bermutu yang bisa dijangkau semua kelompok masyarakat. Bahkan untuk tingkat dasar, SD dan SMP, biaya penyelenggaraan tidak dibebankan pada masyarakat. Pasal 31 UUD 1945 amandemen keempat menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kemudian juga dinyatakan bahwa anggaran pendidikan tidak boleh kurang dari 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).[1]

Begitupun dalam UU Sisdiknas ditegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa ada diskriminasi. Karenanya pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.[2]

Membaca dan memahami dua sumber hukum di atas, tentunya kita akan senang dan berbangga hati. Indonesia ternyata begitu memperhatikan kemajuan dunia pendidikan. Namun, kebanggaan tersebut akan berganti dengan kepedihan hati manakala melihat kenyataan di lapangan. Mengapa?

Faktanya, sampai saat ini masih saja ada sekolah yang tidak layak untuk di pakai dalam kegiatan belajar mengajar, kondisinya centang perenang. Bagaimana bisa belajar dengan tenang jika sarana dan prasarana tidak terpenuhi? Bagaimana akan menciptakan pendidikan berkualitas jika mereka tidak mendapat kenyamanan di dalam proses belajar? Bagaimana bisa mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas jika siswa harus bertaruh nyawa setiap hari?

Wajah bopeng dunia pendidikan ini akan diuraikan dalam tulisan ini. Bijaknya, penulis sebagai anak bangsa, tidak hanya sekedar memunculkan masalah tetapi juga ikut berbagi solusi terhadap masalah bangsa ini.

Kisah Sedih Sekolah Roboh

Sebuah kesaksian: Seakan kesedihan tidak mau lepas dari pancaran wajah Maria. Tidak henti-hentinya pertanyaan dibenaknya muncul, "mengapa pemerintah tak kunjung mengulurkan tangannya?" Sebagai pengajar, tiap hari dirinya harus bertatap muka dengan anak didik yang selalu dipenuhi rasa was-was. Maklum, gedung sekolah tempat menjalankan proses belajar-mengajar sudah dalam kondisi memprihatinkan. Ketika angin datang, kayu penyangga atap sedikit demi sedikit turun, siap jatuh seketika. Ketika hujan turun, rintik-rintik air menerobos genting yang tentu saja mengusik para murid dan guru. "Bagaimana jika roboh?" kata Maria memelas..Tapi, rupanya nasib ratusan anak yang tiap saat bisa terenggut nyawanya tidak meluluhkan hati gubernur.[3]

Kesaksian di atas hanyalah satu kisah yang mewakili kondisi fisik dari puluhan ribu sekolah kita, baik negeri maupun swasta. Laporan TV sekitar Jakarta saja, misalnya, memperlihatkan kondisi SD yang sudah tidak layak pakai, apalagi bila hujan mengguyur. Menurut data Dinas Pendidikan Dasar, dari 2.552 gedung SD dan SMP yang ada di Jakarta, 437 unit sekolah di antaranya rusak berat.[4]

Tahun 2008 silam, sebuah sekolah dasar roboh di Bandung. Robohnya sekolah yang melukai puluhan siswa dan guru itu juga bukan yang pertama di ibu kota Jawa Barat itu. Pada Maret 2008 saja tercatat ada empat sekolah roboh. Sekolah roboh juga bukan monopoli Bandung, hampir di seluruh wilayah di Indonesia, sekolah roboh selalu terjadi. Di Pandeglang, Tangerang, Sumedang, Medan, Bekasi, Sanggau, Mojokerto, Malang, Semarang, banyak sekolah yang roboh.[5][6]

Keadaan lebih menyedihkan lagi dapat dilihat di pelosok yang jauh tersuruk. Kita tidak tahu berapa puluh ribu sekolah kita yang sudah benar-benar berantakan, tetapi tetap saja dihuni, karena tidak ada pilihan lain dan tempat lain.[7] Namun menurut Menteri Pendidikan, pada tahuyn 2005, 70 persen dari 150 ribu sekolah dasar negeri (SDN) dalam kondisi rusak parah.[8]

Dan, jangan salah, tidak semua sekolah yang ambruk itu bangunan lama. Ada satu sekolah yang ambruk padahal baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono enam bulan sebelumnya.

Pelayanan Publik Sektor Pendidikan

Banyaknya gedung sekolah yang rusak bahkan roboh menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung bisa diselesaikan pelaku pendidikan terutama pemerintah. Pertanyaan selanjutnya, mengapa begitu banyak sekolah roboh dan tidak layak pakai di negeri ini?

Setidaknya ada dua sebab mengapa banyak sekolah di Indonesia yang tidak layak pakai.[9] Pertama, belum adanya pemetaan yang baik mengenai kondisi sekolah di Indonesia. Padahal data mengenai sekolah yang kondisinya masih ‘sehat’ atau sudah ‘sakit’ akan sangat membantu dalam menentukan prioritas alokasi dana, mana yang harus direhabilitasi, diperbaiki, atau cukup dirawat. Saat ini pola perbaikan gedung sekolah sepertinya masih bersifat tambal sulam. Perbaikan atau rehabilitasi baru dilakukan setelah sekolah tidak bisa lagi digunakan atau roboh.

Kedua, korupsi. Sama seperti proyek infrastruktur lainnya, rehabilitasi bangunan sekolah sangat rawan korupsi. Malah praktek korupsi sudah terjadi sebelum sekolah direhabilitasi. Menurut pengakuan beberapa kepala sekolah di Tangerang dan Garut, pengajuan proposal rehabilitasi umumnya mentok jika tidak diiringi dengan uang pelicin bagi oknum tertentu di dinas pendidikan.

Memang, ada pola baru dari Depdiknas untuk menghindari korupsi dalam proyek rehabilitasi sekolah, dengan mengucurkan dana dalam bentuk blockgrant. Dana langsung dikucurkan kepada sekolah penerima sehingga tidak bisa lagi ‘disunat’. Akan tetapi pola baru pendanaan tersebut malah melahirkan pola baru dalam korupsi. Model potongan dana diganti dengan uang sogokan. Dana rehabilitasi memang langsung turun ke sekolah, akan tetapi untuk mendapat dana tersebut sekolah harus melewati proses seleksi yang dilakukan oleh pejabat dinas pendidikan baik kecamatan maupu kabupaten/kota. Pada tahap inilah biasanya sekolah yang ingin lolos seleksi mesti menyetor sejumlah uang tertentu kepada para penyeleksi.

Setelah dana rehabilitasi cair, tidak sedikit orang-orang dari dinas terutama kecamatan datang ke sekolah. Beragam alasannya seperti menanyakan kesiapan proses pembangunan, akan tetapi umumnya berujung meminta ‘jatah’ proyek. Selain itu, banyak pula kepala sekolah yang berinisiatif memberi uang tanda terimakasih sekaligus investasi agar sekolahnya bisa terus dipertimbangkan menerima dana proyek-proyek lainnya. Walau harus mengeluarkan uang sogokan dan investasi dalam jumlah banyak, kepala sekolah mengaku tidak merasa rugi.

Segala biaya yang dikeluarkan kepala sekolah untuk mendapatkan proyek diganti oleh dana yang diterima. Walaupun dalam pencairan dana melibatkan komite sekolah, tapi biasanya tidak berfungsi banyak. Komite sekolah hanya dijadikan sebagai ‘pelengkap’ persyaratan untuk mencairkan dana.

Praktek korupsi tidak berhenti pada uang “terima kasih”. Sisa dana kembali berkurang pada tahap pelaksanaan proyek. Pelaku utamanya berganti menjadi kepala sekolah dan kontraktor. Pola yang digunakan adalah me-mark up biaya atau menurunkan kualitas barang bangunan, misalnya membeli bahan yang berbeda mutunya dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Tak mengerankan jika bangunan sekolah tidak kuat bertahan lama dan setiap tahun selalu ada yang roboh. Tersedianya dana yang besar untuk melakukan rehabilitasi pun tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya jawaban. Apabila praktek korupsi belum bisa diberantas, sebesar apapun anggaran yang disediakan dipastikan tidak akan pernah mencukupi.

Pokok atau muara dari kedua masalah tersebut yaitu ironi pelayanan publik khususnya sektor pendidikan. Menurut hasil studi Komisi Hukum Nasional (KHN), setidaknya terdapat tiga masalah utama dalam kinerja pelayanan publik.[10] Pertama, rendahnya kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Meskipun sudah ada ketentuan yang mengatur tentang Standar Minimum Kualitas Pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar tersebut belum termanifestasikan dalam pelaksanaa tugas aparatur pemerintahan.

Kedua, birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas serta wewenang yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dengan proses yang berbelit-belit. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, KKN dan perlakuan diskriminatif. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang (abuse of power and authority) aparat birokrasi dapat mengakibatkan buruknya pelayanan publik pada masyarakat serta menghambat realisasi program-program pemerintah.

Ketiga, rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat tidak jelasnya standar dan prosedur pelayanan serta proses penyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Roda pemerintahan yang baik adalah adanya kontrol oleh kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa, untuk membatasi kekuasaan birokrasi agar tidak terlalu besar.

Epilog: Tantangan ke Depan

“Robohnya sekolah kami” merupakan efek buruk dari pelayanan publik sektor pendidikan, serta terdapatnya beberapa kelemahan substansial dunia pendidikan kita selama ini. Tentunya sisi kelam atau mimpi buruk dunia pendidikan ini harus segera diakhiri. Namun, kepada siapakah suara parau rakyat di alamatkan?

Penulis berharap kegelisahan ini adalah kegelisahan kita semua, termasuk para politisi, para anggota legislatif yang dulu giat berkampanye, menebar janji melalui mulut manis dan berbusa-busa agar dipercaya bahwa dia dan partainya adalah tulang punggung hari depan bangsa.

Sesungguhnya kita semua sudah sampai pada kesimpulan yang sama. Inilah sebenarnya tantangan wakil rakyat yang terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April 2009 serta Presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2009 ini. Artinya, wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden edisi terbaru (new edition) akan memiliki andil besar dalam mengawal amanat rakyat yang memilihnya dan dia wakili/ yang memeberi amanah. Program kemudahan pendidikan jangan hanya sekedar dijadikan komoditas politik, sekedar digunakan sebagai pemanis masa kampanye.

Oleh karena itu, menurut analisis penulis, ada beberapa hal yang menjadi tantangan dan wajib di kawal oleh wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden mendatang guna menghadirkan pendidikan yang layak bagi masyarakat sekaligus meningkatkan mutu pendidikan.

Pertama, rekonstruksi pelayanan publik sektor pendidikan. Sudah saatnya mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Kebijakan yang nantinya diambil sejatinya harus melibatkan peran serta masyarakat dalam segala hal (partisipatif). Lemahnya kontrol masyarakat dan penyelanggara pendidikan yang seenaknya sendiri (anything goes) dalam menjalankan kebijakan selama ini mengakibatkan carut-marutnya tata kelola pendidikan.

Kedua, peningkatan anggaran pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Ini menjadi persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkannya. Wakil rakyat harus pula mengawal apakah anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD benar-benar 20% ataukah hanya sekedar “tipuan” di atas kertas saja.

Ketiga, pembebasan biaya pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya kemauan kuat untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat sekolah dasar, bahkan sampai sekolah menengah atas. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."

Keempat, menghapus dikotomi dualisme penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus berjalan seimbang dalam hal mutu, kualitas dan kemajuannya. Sehingga tidak ada lagi pandangan bahwa pendidikan keagamaan terkesan tidak bermutu dan terbelakang.

Kelima, reformasi kurikulum. Pendidikan mesti diarahkan pada sistem terbuka dan multimakna serta pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (long life education). Karena itu, kurikulum pendidikan harus mampu membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan juga mesti diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajarannya.

Keenam, penghargaan pada pendidik. Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualifikasi, profesionalisme dan kesejahteraan guru. Sebab, guru merupakan pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Tanpa guru yang profesional dan sejahtera, mustahil pendidikan kita akan maju dan berdaya saing. Selain guru tetap dan PNS, para guru honorer dan guru tidak tetap harus pula diperhatikan.

Ketujuh, perhatian serius terhadap kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural terbukti menjadi penghalang bagi masyarakat dalam mengakses pendidikan. Sekarang tampaknya para pengelola pendidikan, pemerintah dan semua pihak sepakat tentang perlunya usaha serius untuk mengatasi kemiskinan struktural di bidang pendidikan. Saatnya menggali model yang pantas bagi penggalian dana dari masyarakat luas, sebab pencarian jalan bagi kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya diyakini sebagai suatu usaha yang mendesak.

Akhirnya, tugas serta presiden dan wakil presiden terpilih nantinya untuk membuktikan bahwa mereka tidak menutup mata atas penderitaan dan rintihan rakyat. Rakyat tidak hanya berarti bagi mereka ketika musim pemilihan umum datang dan setelah itu, rakyat adalah rakyat dengan penderitaan, dan anggota dewan adalah "putra terbaik bangsa" yang patut menikmati berbagai fasilitas dan tunjangan. Wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden bukan mereka yang memburu kekuasaan dengan segala cara: memalsukan ijazah, menuakan umur, money politics, dan bahkan bersekongkol mereproduksi undang-undang. Berani? Mau? Semoga saja.

Daftar Rujukan

[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

[2] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003

[3] Siswanto. 2004. Ketika Gedung Sekolah Nyaris Roboh. Tempo Edisi 11 April 2004

[4] Kompas. 2008. Sekolah Rusak Diperbaiki: KS Dukung Gubernur Selesaikan RAPBD 2009. Edisi 4 November 2008

[5] Republika Online. 2008. Sekolah Roboh. Edisi 29 Maret 2008

[6] Pontianak Post. Pemkab Didesak Perhatikan Gedung Sekolah. Edisi 4 Maret 2004.

[7] Maarif, Ahmad Syafii. 2005. Wajah Bopeng Pendidikan Kita. Dalam Menerobos Kemelut: Refleksi Cendikiawan Muslim. Grafindo: Jakarta. Hal 24

[8] Kompas. 2005. Sekolah Roboh. Edisi 8 Maret 2005

[9] Irawan, Ade. 2005. Korupsi Penyebab Robohnya Sekolah. (Online). (http://adeirawan.blog.friendster.com/). Diakses tanggal 12 Februari 2009

[10] Pujileksono, Sugeng. 2006. Menuju Pelayanan Berpihak pada Publik. Dalam Zen, APM et al. 2006. Pelayanan Publik Bukan untuk Publik. Malang: Yappika dan MCW. Hal:27-28

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger template Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP